Menari Tradisional Sungguh Tidak Mudah Tapi Menarik
Tari Saman Dulu aku tidak pernah tertarik dengan tarian tradisional, apalagi tarian yang berasal dari Jawa. Tariannya terkesan lambat dan meninabobokan. Jika ada suatu acara dibuka dengan tetarian tradisional, aku memilih untuk pergi jajan sambil menunggu tarian itu berakhir. Tetapi pendapatku kemudian berubah ketika menonton langsung festival seni di Surabaya. Aku berbalik menggemari tarian tradisional dan mengaguminya. Meskipun aku hidup di tengah budaya Jawa yang kental, dengan ayah dari Jawa Barat dan ibu asli Jawa Timur, tidak ada satupun tarian tradisional yang kukuasai. Ayah sangat menyukai Tari Jaipong yang menurut ia sangat dinamis. Sedangkan ibu mengunggulkan Tari Topeng Malang dengan aneka topengnya yang unik serta Tari Remo yang lazim sebagai tarian selamat datang dan pembuka acara. Namun, aku tidak pernah tertarik dengan segala jenis tarian tradisional tersebut. Tarian yang menurutku cukup menarik hanya Reog Ponorogo. Jika ada pawai HUT kemerdekaan RI, salah satu atraksi yang kutunggu-tunggu adalah Reog Ponorogo. Sangat atraktif. Dengan baju hitam dan muka dipoles warna merah, para warok tersebut nampak garang, demikian pula dengan penari jaran kepang dan singa barongnya. Sangat menarik. Tarian tradisional mengusikku ketika aku duduk di bangku SMA. Tarian tradisional menjadi mata pelajaran wajib semasa kelas 1 SMA.Selain mempelajari berbagai gerakan tarian tradisional dan beragam jenis tarian, pada akhir sesi kami wajib menyajikan tarian kelompok dan tarian individu dengan basis gerakan-gerakan tarian Jawa. Waduhhh. Kebalikan dengan aku, teman sebangkuku nampak sangat menikmati mata pelajaran ini. Ia sangat luwes memperagakan gerakan-gerakan tarian. Gerakan-gerakan yang nampak sederhana di ilustrasi buku, rupanya sangat susah dipraktikan. Gerakan pacak gulu, menggerakan leher sehingga kepala bergerak ke kiri dan ke kanan, membuatku frustasi. Ana, temanku memperagakannya seolah tanpa kesulitan, sementara gerakanku sangat kaku seperti robot. Gerakan-gerakan Ana, seperti nyarumpit, menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentu lingkaran dengan lengan terbentang, nampak indah. Sementara gerakanku bisa ditebak, membuat kakakku yang melihat aku berlatih, tertawa terbahak-bahak. Ia dan temanku tertawa terkikik-kikik dan menjuluki gerakanku seperti ranting pohon karena lenganku kurus dan gerakanku jauh dari luwes. Dari sesi praktik menari itulah aku baru benar-benar memahami bahwa menari tradisional itu sangat sulit dan memerlukan praktik yang intensif agar bisa terlihat luwes. Gerakan-gerakan yang nampak sederhana itu memerlukan kesabaran untuk bisa menguasainya dengan baik. Dan ketika berhasil dikuasai, gerakan tersebut akan sangat indah ditonton. Meski sudah belajar tarian tradisional dan mulai mengaguminya, aku baru benar-benar menyukai tarian sejak menonton festival seni di Surabaya Beruntung kampusku di ITS tidak jauh dari Galeri Surabaya dan Cak Durasim, tempat yang biasa digunakan sebagai ajang tempat Festival Seni Surabaya dan acara-acara seni lainnya, sehingga aku bisa menontonnya tiap tahun. Tarian pertama yang memukauku adalah tarian yang dibawakan oleh Eko Supriyanto, seorang seniman tari yang pernah didaulat menjadi pengiring biduan terkenal Madonna. Memang tariannya bukan murni tarian tradisional tertentu, melainkan tarian kreasi baru. Namun, gerakan-gerakannya banyak menggunakan basis tarian tradisional klasik. Gerakannya dinamis, penuh energi, namun juga luwes. Sejak itu, saya yang dulunya anti menonton tarian tradisional jadi suka menonton tarian melebihi pentas drama, yang dulunya lebih saya sukai. Saya telah beberapa kali menonton pagelaran tari karya Dedi Luthan dan istrinya, Eli, yang maestro tari, juga tarian karya Ags Arya Dipayana (almarhum). Nuansa tradisi kental pada tarian mereka meskipun dibuat lebih bernuansa modern. Akhirnya kesempatan untuk menari tradisional kembali hadir ketika saya bekerja di sebuah perusahaan milik negara. Saya dan tujuh rekan kerja menarikan tarian khas Aceh, tari Saman, pada acara ulang tahun kantor. Untunglah tarian yang bernuansa Islam ini tidak menuntut gerakan yang luwes seperti tarian tradisional Jawa. Bisa-bisa tragedi ranting pohon berulang jika menari Serimpi atau Gambyong.
Tari saman terkesan sederhana dengan lebih banyak menggunakan gerakan tangan dan tidak banyak menggunakan kaki untuk bergerak. Kekompakan dan konsentrasilah yang diutamakan dalam gerakan-gerakan tarian Saman. Saat awal-awal berlatih, beberapa kali saya melakukan kesalahan gerakan karena kurang berkonsentrasi. Satu saat rekan saya terkena siku lengan rekan lainnya karena kurang kompak. Rupanya bernyanyi sambil menari sekaligus berkonsentrasi pada gerakan cukup sulit. Baru setelah lima kali berlatih kami bisa cukup kompak dan hafal semua gerakan. Setelah itu berlatih menari rasanya menyenangkan dan membuat kami gembira. Dan senangnya, penampilan kami cukup lancar dan mendapat sambutan meriah. Tari tradisional rupanya asyik untuk dipelajari. Semoga tahun-tahun mendatang banyak generasi muda yang tertarik belajar tarian tradisional usai membaca pengalaman para penulis menarikan tarian tradisional di ajang lomba tulis yang diselenggarakan oleh Indonesia Travel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar